Selasa, 02 Desember 2014

Desaku Hubikossy Dusun Punogolik

Dusunku ini tampak asri dan unik. Rumah-rumah berada di dataran yang cukup tinggi sementara untuk jalan setapak lebih rendah dari posisi rumah-rumah ini berdiri. Setidaknya ada lima rumah yang berjajar dan agak berjauhan antara satu dengan yang lain. Salah satunya adalah rumah tete-nenekku. Rumah tete-nenekku ini merupakan rumah terkecil diantara deretan tersebut. Sementara itu, tepat dibelakang rumah tete-nenekku terdapat rumah saudara kami. Di belakang rumah tersebut terdapat banyak pohon jati yang besar dan tinggi menjulang menggapai langit.

Desa ini sangat subur. Di setiap rumah kamu akan melihat banyak bunga yang tumbuh di pekarangannya. Sering kali saya bersama teman-temanku berlomba untuk menangkap kupu-kupu yang memang setiap hari menyatroni bunga-bunga di halaman rumah tersebut. Pada musimnya, buah jambu dan belanda sangat banyak tumbuh di pepohonan yang berada tepat di sebelah kiri rumah tete-nenekku. Di sepanjang jalan pepohonan buah itu merupakan jalan menurun yang sengaja di penuhi dengan bebatuan yang bertujuan untuk meminimalisir kondisi licin saat hujan turun.

Ketika terbangun di pagi hari, sangat enggan rasanya untuk melepaskan selimut karena dinginnya hawa dusun punogolik pagi hari. Makin siang, dusun makin indah untuk di telusuri karena pemandangan seperti ini tak dapat kau temui di kota besar. Saya rindu akan aroma dusunku. Aroma pedesaan yang khas yang kadang bercampur dengan aroma Wam(Babi) dan sapi hehe... Oiya, Kau tak akan membayangkan untuk mandi di hawa pagi dusunku ini. Dinginnya menusuk tulang dan tempat mandinya?

Saat itu, belum ada kamar mandi dan toilet layaknya di Wamena atau jayapura. Kamu tau tempat menimba air? Itu merupakan tempat mandi dan mencuci yang sering kutemui di desaku. Biasanya tempat itu hanya dilengkapi dengan katrol yang diikat pada sebuah besi yang di pasang diantara dua tiang timbaan tersebut. Kemudian kantrol tersebut juga terhubung dengan ember yang lumayan besar. Tempat menimba terdekat dengan rumah tete-nenekku terletak di pinggiran jalan kampung. Tempat ini hanya dilengkapi dengan dinding berbahan dasar anyaman lokob. Tetapi dinding tersebut tidak lah menutupi semua sisinya, dinding itu hanya seukuran pinggang orang dewasa dan tertutup pada bagian depan yang menghadap jalan saja.

Orang-orang biasa menggunakan tempat ini bersama-sama. Ketika seorang warga tengah mencuci, maka warga desa lain yang membawa peralatan mandinya dapat menggunakan sisi lain dari tempat menimba tersebut. Selain itu, tempat ini merupakan sumber air untuk kebutuhan minum dan dapur. Tak jarang saya melihat seorang ibu-ibu dengan jarik-nya menggendong sebuah isoak besar.
Hal ini meruapakan hal-hal yang akan kurindukan untuk kulihat.

Wamena, 1993 hingga sekarang.

Tahun 193, teteku collapse. Ibuku mengambil langkah seribu untuk segara pergi ke desa. Sesampainya di sana ibuku terus saja di Rumah Sakit dan aku tinggal di rumah tete-nenekku. Sedih rasanya melihat wajah desaku, saat itu tengah dilakukan pengerukan tanah dengan buldozer yang orang kampung sering menyebutnya dengan begok. Rumah yang dulunya berjajar di dataran tinggi kini lenyap berganti dengan dataran yang sama dengan jalan setapaknya. Semua rumah telah ada di dataran yang telah di ‘garuk tanah’ nya oleh buldozer. Tinggal rumah tete-nenekku sajalah yang berada di dataran tinggi. Rumah ini pun akan menyusul.

Hilang sudah bunga-bunga itu, kupu-kupu yang rajin berkunjung dan buah-buahan yang lezat. Kini desaku lebih terlihat seperti padang tandus. Warga desa mengulang kembali semuanya dari awal. Mereka mulai menanami banyak benih pohon untuk meneduhkan desa kembali.

Aku berharap bisa melihat desaku yang dulu. Desa Hubikossy. Dusun Punogolik.